detikhukum.id, Jakarta SS ibu korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) guling-gulingan di persidangan pimpinan I Wayan Gede Rumega, setelah mendengar tuntutan 2 tahun yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dawin S Gaza Selasa (9/7/2024) . Akibat ulah ibu korban itu majelis hakim menghentikan persidangan. Beberapa saat kemudian dibuka kembali untuk mendengarkan pembelajaran dari kuasa hukum terdakwa .
Tim Kuasa Hukum Terdakwa Edrik Tanaka , Michael Remzaldy, Jacobus Roslin Masihor , Jhon Feriyanto Sipayung,dan Sihar Nataell Nababan mohon keringanan hukuman klienya yang dituntut 2 tahun oleh Jaksa PenuntutUmum (JPU) Dawin S Gaza di Pengadilan Negeri Jakarta Utara Selasa (9/7/2024).
Menurut tim kuasa hukum dalam pembelaannya menyatakan bahwa saksi korban tidak terbukti mengalami Jatuh sakit atau luka berat , memang benar ada perbuatan yang diakui oleh Terdakwa dalam persidangan terhadap saksi korban yakni saling dorong dan jatuh secara bersama-sama, meninju mata saksi korban dan menjambak rambutnya. Akan tetapi menurut Penasihat Hukum Terdakwa, fakta tersebut belum cukup apabila tidak dapat dibuktikan akibat nyata yang memenuhi unsur jatuh sakit atau luka berat terhadap korban.
Menurut Ahli Kedoktera dr. Samiadji Abbas RAS yang bersesuaian dengan ahli dr. Regina Angeline menegaskan tahapan-tahapan penerbitan visum et repertum yakni sebagai berikut: Pasien datang ke rumah sakit dengan membawa permintaan VER dari penyidik;
Dokter melakukan anamnesa atau memeriksa keadaan pasien dalam hal ini selaku korban;
Dokter menerbitkan VER dengan mencantumkan apa yang diamati lebih khusus kalau dalam kasus korban luka, maka yang dicantumkan terkait kondisi luka.
Sementara menurut Ahli Hukum Pidana:
yang diajukan oleh JPU , DR. Aprima Suar, menerangkan kalau penerbitan VER harus diawali oleh permintaan penyidik, jadi seperti korespondensi, yakni ada yang meminta ada yang memberikan jawaban. Jika tidak melewati proses tersebut, maka VER adalah tidak sah bahwa selaras dengan itu ahli hukum pidana yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum Terdakwa juga menegaskan tentang diperlukan permintaan penyidik dan jika tidak melewati mekanisme dimaksud, maka VER adalah tidak sah.
Ahli juga menambahkan kalau dalam satu perkara pidana bisa saja ada dua Vissum, namun kedudukannya harus berkaitan. Misalnya ada vissum awal, selanjutnya dari dokter memberikan rujukan lebih lanjut untuk memeriksa kondisi pasien karena terdapat luka yang membutuhkan pemeriksaan dari dokter ahli. Kalau ada dua visum yang bertolak belakang dan diajukan bersama dalam persidangan, maka yang dipakai adalah visum yang lahir dari mekanisme yang benar tentunya;
Bahwa akibat perbuatan Terdakwa yang pada pokoknya berupa “kekerasan fisik”, sudah pasti harus didasari oleh bukti visum, namun bukti visum et repertum dimaksud harus memenuhi syarat formil sebagaimana dimaksud Pasal 133 ayat (1) dan (2) KUHP pidana, jika tidak, maka VeR dimaksud layak dikesampingkan sebagai alat bukti oleh Yang Mulia Hakim.
Bahwa oleh karena visum yang diterbitkan dari RS. Budha Tzu Chi terbukti:
Dilakukan pemeriksaan atas permintaan sendiri oleh saksi korban, padahal visum adalah kewenangan dari Penyidik. Artinya, penyidik seharusnya yang berwenang memutuskan untuk dilakukan visum atau tidak, dan bukan saksi pelapor atau saksi korban; Visuum dimaksud diminta oleh penyidik dalam waktu 21 hari sesudah peristiwa pidana, selanjutnya dokter mengadopsi apa yang tertuang dalam rekam medis, sementara pelaksanaan pemeriksaan atau anamnesa sama sekali tidak dilandasi oleh permintaan penyidik.
Dalam hal ini, Penyidik sudah meminta visum pada RSUD Tanjung Periuk, dan hasilnya sudah diterima oleh penyidik pula, dimana hasil VeR tertanggal 4 November 2023 sudah dilakukan sesuai prosedur Pasal 133 ayat (1) dan (2) KUHAPidana, sehingga hadirnya visum kedua yang diterbitkan RS Budha Tzu Chi adalah visum yang berdiri sendiri bahkan saling bertolak belakang kesimpulannya dengan visum yang diterbit RSUD Tanjung Periuk. Tegasnya, visum yang terbit sesudah visum dari RSUD Tanjung Periuk bukanlah visum lanjutan karena kesimpulannya berbeda, dimana hasil visum dari RSUD Tanjung Periuk menyebutkan “luka tersebut tidak menimbulkan halangan pekerjaan”, sedangkan visum dari RS Budha Tzu Chi menyebutkan “telah menyebabkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan/jabatan untuk sementara waktu”;
Penyidik dalam memutuskan untuk meminta visum RS Budha Tzu Chi tanpa alasan yang dibenarkan menurut hukum, sebab sudah ada hasil visum dari RSUD Tanjung Periuk. Artinya, kalau memang visum yang diterbitkan RSUD Tanjung Periuk diragukan kebenarannya oleh Penyidik, maka seharusnya tidak diajukan oleh penyidik sebagai alat bukti saat dilimpah ke kejaksaan atau ketika sudah dalam kendali Pengadilan. Namun dengan diajukan dalam persidangan kedua visum dimaksud dengan hasil saling bertolak belakang, maka sudah seharusnya salah satu dari visum dieleminasi eksistensinya yakni visum yang tidak memenuhi syarat formal dalam hal ini visum dari RS Budha Tzu Chi, dan patut untuk ditolak legitimasinya sebagai alat bukti.
Bahwa oleh karena alat bukti terkait adanya indikasi “luka berat” hanya didasari oleh Visum Et Repertum yang tidak memenuhi syarat formal berdasarkan KUHAPidana, sehingga beralasan hukum untuk menyatakan Visum Et Repertum yang diterbitkan oleh RS Budha Tzu Chi atas permintaan tanggal 24 November 2023 adalah alat bukti yang tidak sah dan patut untuk dikesampingkan.
Bukti yang diajukan Penasihat Hukum Terdakwa yang diberi tanda bukti T-2 berupa video saksi korban saat di RS. Budha Tzu Chi diperkirakan video dimana korban dalam gerakan lenggak lenggok mengikuti irama lagu, dan tampak tidak sedang memiliki masalah kesehatan.
Bahwa berdasarkan keterangan saksi Rasmini, bahwa saksi korban saat ini sudah mencari nafkah untuk membiayai kehidupan anak-anaknya dan saksi korban sudah mulai beraktivitas secara normal. Sementa saksi Wasito, menerangkan kalau saat itu saksi korban hanya menerangkan tiga luka yakni: mata lebam, tangan luka, dan lutut lecet, selebihnya tidak ada tentang hidung berdarah, gigi goyang, atau memar dikepala.
Bahwa saksi melihat kalau saksi korban berjalan tegak dan tidak sempoyongan, malah berjalan sendiri bahkan menyetir mobil sendiri.
Menurut kuasa hukum , definisi terkait “jatuh sakit atau luka berat” berdasarkan peraturan perundang-undangan, yakni:
Pasal 90 KUHPidana, yakni sebagai berikut:
Luka berat berarti, luka yang menyebabkan:
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu pancaindera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Usai persidangan Michael Remzaldy dan Sihar Nataell Nababan kepada media mengatakan,” Pada prinsipnya kita bukan soal tuntutannya tapi yang jaksa gunakan yang terbukti pasal 44 ayat (1) prinsipnya kita sependapat tapi kalau itu 2 tahun kita tidak setuju oleh karena itu kami mengajukan beberapa pokok pembelaan , bahwa ini perkara ada kejanggalan seolah ada upaya rekayasa untuk pemberatan pidana itu jelas , kenapa satu perkara ada 2 visum ini kan tidak masuk akal makanya ada 2 pertimbangan yang sangat mendasar yaitu yang dijadilan alat bukti visum yang tidak memenuhi syarat formal dalam hal ini visum dari RS Budha Tzu Chi, dan patut untuk ditolak legitimasinya sebagai alat bukti ada visum yang pertama malah yang ke-2 Mereka sendiri yang mengajukan, anehnya dua dua nya diajukan sebagai alat bukti harusnya kalau visum pertama tidak memenuhi syarat ya jangan dipakai, kami berharap majelis hakim memberikan pengurangan dari tuntutan , janganlah pake drama, seolah yang kita lihat tadi ada yang kita abaikan padahal majelis hakim menurut kami terlalu membuka ruang bangkan untuk ibunya korban “. Jelas Michael
DH/Eman Sulaeman/red