Penulis: Merling Tonia Litronp Litos Conthes Messakh, M.Pd
detikhukum.id, – Jakarta – Indonesia telah memasuki era hyper-connectedness yang ditandai dengan keterhubungan digital yang hampir tanpa batas. Data terkini dari We Are Social dan Hootsuite (2024) menunjukkan fenomena yang mengejutkan: dari total populasi Indonesia sebesar 276,4 juta jiwa, terdapat 353,8 juta perangkat mobile yang terhubung ke internet (128% dari total populasi).
Angka ini mengindikasikan bahwa rata-rata setiap penduduk Indonesia memiliki lebih dari satu perangkat digital. Sementara itu, pengguna internet mencapai 212,9 juta (77% dari total populasi) dengan 167 juta di antaranya (60,4%) merupakan pengguna media sosial aktif.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2023) bahkan mencatat bahwa dari 221,5 juta pengguna internet di Indonesia, 91,5% menggunakan media sosial secara aktif.
Fenomena hyper-connectedness ini membawa berbagai manfaat namun juga tantangan etis yang perlu direspons dengan bijaksana, khususnya dari perspektif etika Kristen.
Meningkatnya konektivitas digital telah mengubah lanskap interaksi sosial dan diseminasi informasi secara fundamental. Di satu sisi, media sosial menawarkan kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk terhubung, berbagi, dan mengakses informasi.
Di sisi lain, Firmansyah et.al (2024) mengidentifikasi adanya “krisis etika” dalam penggunaan media sosial yang telah berdampak pada perpecahan masyarakat, pengabaian privasi, dan merosotnya kepercayaan publik terhadap informasi daring. Dalam konteks ini, etika Kristen dapat menawarkan prinsip-prinsip panduan yang relevan untuk menyikapi fenomena hyper-connectedness dengan cara yang konstruktif dan bermakna.
- Integritas Digital sebagai Wujud Kesaksian Kristen
Salah satu respons etika Kristen yang krusial terhadap fenomena hyper-connectedness adalah penerapan integritas digital yang konsisten. Belo (2021) menekankan bahwa orang Kristen memiliki kewajiban untuk menggunakan media sosial “dengan bijaksana, untuk bersaksi, untuk kemuliaan Allah.” Integritas digital berarti adanya keselarasan antara identitas offline dan online—tidak ada dualisme antara siapa kita di dunia nyata dan siapa kita di ruang digital. Ini mencakup kejujuran dalam profil dan representasi diri, ketulusan dalam interaksi, dan konsistensi dalam menjunjung tinggi kebenaran.
Di era post-truth yang ditandai dengan meluasnya disinformasi dan misinformasi, integritas digital kristiani mengharuskan adanya komitmen terhadap kebenaran. Simanjuntak dan Mendrofa (2022) merekomendasikan untuk “menghindari hoaks” sebagai bagian dari etika apologetika di media sosial.
Pengguna media sosial Kristen perlu mengembangkan keterampilan literasi digital kritis untuk memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, serta keberanian untuk mengoreksi informasi yang salah saat ditemukan.
Ketika orang Kristen berkomitmen pada integritas digital, hal ini menjadi bentuk kesaksian yang kuat tentang identitas mereka sebagai pengikut Kristus di dunia yang terhubung secara digital.
- Kasih dan Penghormatan sebagai Prinsip Interaksi Digital
Etika Kristen menawarkan perspektif yang bernilai tentang bagaimana manusia seharusnya berinteraksi satu sama lain—termasuk dalam ruang digital. Suyadi et.al (2022) mengusulkan implementasi Roma 12:10 sebagai fondasi etis untuk interaksi di media sosial, yang menekankan “kasih dan sikap saling mendahului dalam memberi hormat.” Prinsip ini menjadi sangat penting dalam konteks media sosial yang sering ditandai dengan polarisasi, permusuhan, dan dehumanisasi terhadap mereka yang berbeda pendapat.
Dalam praktiknya, kasih dan penghormatan di media sosial berarti memilih kata-kata dengan hati-hati, mempertimbangkan bagaimana pesan kita akan diterima, dan menahan diri dari menilai terlalu cepat.
Simanjuntak dan Mendrofa (2022) mengidentifikasi “berbahasa sopan, bersikap tenang, dan menghindari ujaran kebencian” sebagai elemen-elemen kunci dalam etika apologetika Kristen di media sosial. Bahkan saat terlibat dalam diskusi kontroversial atau membela keyakinan, orang Kristen dipanggil untuk melakukannya dengan “hormat dan lemah lembut” (1 Petrus 3:15-16).
Kasih dan penghormatan juga berarti mengakui kemanusiaan bersama di balik avatar digital. Hyper-connectedness ironisnya dapat mengarah pada dehumanisasi saat kita mulai memandang orang lain sebatas opini atau posisi mereka daripada sebagai manusia utuh yang diciptakan menurut gambar Allah. Etika Kristen mengingatkan kita untuk mengenali martabat inheren pada setiap orang yang berinteraksi dengan kita secara digital, bahkan mereka yang pandangannya sangat berbeda atau yang perilakunya provokatif.
Pendekatan ini menciptakan ruang untuk dialog yang bermakna dan saling pengertian di tengah keragaman.
- Kebijaksanaan Digital dan Pimpinan Roh Kudus
Di tengah banjir informasi dan stimulus digital yang terus-menerus, kebijaksanaan menjadi keterampilan spiritual yang sangat penting. Belo (2021) menekankan bahwa orang Kristen perlu menggunakan media sosial “berdasarkan pimpinan Roh Kudus atau bukan untuk mengikuti kedagingan serta memuaskan nafsunya semata.”
Ini mengindikasikan bahwa penggunaan media sosial oleh orang Kristen seharusnya didasarkan pada pertimbangan spiritual yang mendalam, bukan sekadar dorongan impulsif atau konformitas sosial.
Kebijaksanaan digital mencakup kemampuan untuk mengelola waktu dan perhatian dengan bijak.
Hyper-connectedness dapat mengakibatkan kecanduan digital, FOMO (fear of missing out), dan gangguan terus-menerus yang menjauhkan kita dari relasi nyata dan praktik-praktik spiritual yang penting. Etika Kristen mendorong pembentukan kebiasaan digital yang sehat, termasuk periode “detoks digital” secara teratur, batas waktu yang jelas untuk penggunaan media sosial, dan prioritas pada interaksi tatap muka yang bermakna di atas konektivitas digital.
- Apologetika Digital yang Beretika dan Konstruktif
Saat platform media sosial menjadi arena utama untuk pertukaran ide dan pandangan dunia, orang Kristen memiliki peluang unik untuk terlibat dalam apologetika digital—yaitu, artikulasi dan pembelaan iman Kristen di ruang digital. Namun, Simanjuntak dan Mendrofa (2022) mengobservasi bahwa beberapa dialog apologetika di media sosial “sering terseret keluar dari etika Kristen yang seharusnya tetap dipraktikkan dalam keadaan apapun,” dan “dapat berujung pada konsekuensi hukum.” Ini menggarisbawahi kebutuhan akan pendekatan apologetika yang tidak hanya efektif tetapi juga beretika.
Apologetika digital yang beretika berarti mempertahankan integritas intelektual, seperti tidak menyalahartikan pandangan orang lain, mengakui keterbatasan pengetahuan sendiri, dan bersedia mengubah pandangan ketika bukti baru ditemukan. Ini juga berarti menghindari taktik retorika yang manipulatif atau menyesatkan, dan alih-alih fokus pada presentasi yang jelas dan jujur tentang kebenaran Kristen.
Simanjuntak dan Mendrofa (2022) merekomendasikan pendekatan yang bercirikan “berbahasa sopan” dan “bersikap tenang”—kualitas yang sering absen dalam wacana digital kontemporer.
- Pembentukan Komunitas Digital yang Otentik dan Inklusif
Respons final etika Kristen terhadap hyper-connectedness adalah upaya untuk membentuk komunitas digital yang otentik, inklusif, dan mendukung. Sementara media sosial menawarkan konektivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, ia juga dapat menyebabkan isolasi paradoksal dan keterasingan, memperburuk kesepian dan meningkatkan polarisasi sosial. Etika Kristen, dengan penekanannya pada pentingnya komunitas, persekutuan, dan kasih persaudaraan, menawarkan koreksi penting terhadap kecenderungan individualistik dari budaya digital.
Orang Kristen dapat berperan dalam menciptakan “ruang-ruang anugerah” digital di mana dialog yang jujur dan rentan dimungkinkan, perbedaan pandaryadi dapat dieksplorasi dengan rasa hormat, dan dukungan komunal dapat dibagikan. Suyadi et.al (2022) mencatat bahwa implementasi nilai-nilai kasih dan saling menghormati akan menghasilkan “penggunaan media sosial yang sehat, yang tidak menimbulkan dampak negatif, tetapi justru menghasilkan sesuatu yang positif.” Komunitas digital yang didasarkan pada nilai-nilai Kristen dapat menawarkan alternatif terhadap tribalisasi dan polarisasi yang kerap mendominasi lanskap media sosial.
Fenomena hyper-connectedness akan terus membentuk realitas sosial kita di tahun-tahun mendatang.
Dengan mendasarkan respons mereka pada prinsip-prinsip integritas, kasih, kebijaksanaan, apologetika yang beretika, dan pembentukan komunitas, orang Kristen dapat menunjukkan cara keterlibatan digital yang tidak hanya konsisten dengan iman mereka tetapi juga memberikan kesaksian tentang transformasi yang ditawarkan Injil di setiap bidang kehidupan—termasuk realitas virtual kita yang semakin terhubung.
Referensi:
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2023). APJII Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang. https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang diakses pada 8 April 2025.
Belo, Y. (2021). Tinjauan etika Kristen terhadap penggunaan media sosial. Jurnal Luxnos, 7(2), 288-302.
Firmansyah, A. H. R., Dewi, C. N., Najmiah, N., Chairunnisa, S. K., Fuadin, A., & Putri, V. I. (2024). Krisis Pemahaman Moral dan Etika dalam Penggunaan Media Sosial. Artikulasi: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 3(1), 34-40.
Simanjuntak, H., & Mendrofa, F. A. (2022). ETIKA BERAPOLOGIA DI MEDIA SOSIAL. JURNAL TABGHA, 3(2), 78-88.
Suyadi, S., Simorangkir, S. L. B., Basuki, Y. T., & Hutabarat, M. (2022). Etika Kristen Dalam Perspektif Roma 12: 10 Terhadap Peran Komunikasi Bermedia Sosial Di Era Digital. Ritornera-Jurnal Teologi Pentakosta Indonesia, 2(1), 58-70.
We Are Social & Hootsuite. (2024). Special Report Digital 2024: Indonesia. https://wearesocial.com/id/blog/2024/01/digital-2024/ diakses pada 8 April 2025.
DH/Johan Sapaheluwakan/red