Potensi Masalah Disahkannya RUU TNI Menjadi UU TNI

detikhukum.id,- Jakarta | Baru-baru ini Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) memasukkan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025. Bahwa hal demikian berdasar pada Surat Presiden (Surpres) Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025, sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir di Gedung DPR. Selanjutnya, tertanggal 20 Maret 2025, RUU TNI telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani dengan didampingi para Wakil Ketua DPR.

Tidak dapat dipungkiri, proses pembahasan RUU TNI mengundang tanda tanya karena terdapat beberapa kejanggalan seperti Pertama, rapat pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara tertutup di Hotel Fairmont. Kedua, sulitnya akses masyarakat sipil mendapatkan draft RUU TNI, Ketiga kesulitan mendapatkan naskah final UU TNI, dan Keempat pembahasan serta pengesahan RUU TNI dilakukan setidaknya hanya dalam 35 hari.

Setidaknya dari keempat kejanggalan tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat sipil mengingat RUU TNI yang sudah disahkan menjadi UU berpotensi mengembalikan konsep “Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)” yang pernah ada di masa Presiden Soeharto (1967-1998). Bahwa secara konseptual, Dwifungsi ABRI dapat diartikan militer baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki 2 (dua) tugas utama yakni untuk menjaga keamanan negara dan turut serta mengatur tata kelola pemerintahan.

Penyusunan serta Pembahasan RUU TNI Cacat Formil

Bahwa secara faktual, secara resmi DPR tidak pernah mempublikasikan final draft RUU TNI kepada masyarakat luas. Padahal apabila merujuk pada ketentuan Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 13/2022) menyatakan:

“Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.”

Selain daripada itu, tidak disebarkannya final draft RUU TNI kepada masyarakat luas juga bertentangan dengan Pasal 7 huruf b tentang Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib, menyatakan:

“DPR bertugas untuk menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang”

Bahwa kejadian pada tanggal 14 sampai 15 Maret 2025, di Hotel Fairmont telah memusnahkan hak masyarakat untuk memberikan masukan terhadap RUU TNI yang sedang dibahas. Bahwa hal demikian bertentangan dengan Pasal 96 ayat (1) UU 13/2022:

“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”

Potensi Masalah UU TNI

Bahwa selain penyusunan dan pembahasan RUU TNI yang cacat secara formil. Penulis setidaknya menemukan 2 (dua) potensi masalah utama dalam UU TNI, terhadap pasal:

  1. Perluasan Kewenangan TNI di berbagai Kementerian dan Lembaga
    Merujuk pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI terdapat tambahan kalimat “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Bahwa yang sebelumnya Prajurit TNI hanya ditempatkan di di 10 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian. Namun, karena adanya penambahan kewenangan tersebut Prajurit TNI diizinkan menurut hukum untuk mengisi posisi di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.

Bahwa dapat dipahami, perluasan kewenangan untuk Prajurit TNI mengisi berbagai kementerian dan lembaga berpotensi mereduksi supremasi sipil serta berpotensi kembalinya Dwifungsi ABRI.

  1. TNI Berwenang untuk Menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
    Merujuk pada Pasal 7 ayat (2) UU TNI terdapat penambahan tugas yakni “Membantu Kepolisian untuk Menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat” dan “Membantu dalam upaya penanganan siber”. Bahwa sebelumnya tidak ada kedua tugas tersebut tetapi sekarang diperluas tugas dan kewenangan TNI dalam pemerintahan.

Bahwa dapat dicermati, Pertama istilah “keamanan dan ketertiban masyarakat” bisa diinterpretasikan secara luas untuk memprioritaskan kepentingan negara daripada hak warga sipil. Tanpa definisi jelas tentang situasi spesifik yang memerlukan campur tangan TNI, militer dapat dengan mudah memasuki ruang privat sipil dan melakukan intervensi dengan dalih menjaga keamanan.

Kedua, istilah perluasan peran TNI ke ranah siber berpotensi menciptakan konflik kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital dan Badan Siber dan Sandi Nasional. Celah dalam UU TNI terkait aktivitas siber dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu, khususnya dengan pendekatan militeristik yang tidak sesuai untuk ranah digital. Situasi ini dapat membahayakan kebebasan berekspresi online, mengurangi transparansi, dan menciptakan efek intimidasi yang membatasi keterlibatan masyarakat dalam diskusi kritis terhadap kebijakan pemerintah. Pasal ini berpotensi untuk mendegradasi kebebasan ruang sipil.

Tugas TNI menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI

Bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tugas utama TNI yakni untuk menjaga keamanan negara dan bukan ikut serta andil dalam menjalankan roda pemerintahan serta tata kelola negara. Lantas apa yang menjadi landasan utama Presiden Prabowo Subianto serta DPR RI ketika melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI?

TNI Bertugas untuk Menjaga Negara dan Bukan Mengurus Tata Kelola Negara

UU TNI sebaiknya tidak dibuat karena tidak ada urgensinya. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kondisi ini mengakibatkan berbagai pelanggaran dan tragedi di negara kita. Kita perlu belajar dari masa lalu dan tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan menjaga militer tetap fokus pada tugasnya melindungi kedaulatan negara. Setidaknya terdapat berbagai potensi masalah ketika TNI ikut serta mengurus tata kelola negara, seperti:

● Penempatan TNI aktif di Kejaksaan Agung tidak tepat karena fungsi TNI adalah pertahanan negara, bukan penegakan hukum.
● Penambahan tugas operasi militer dalam penanganan narkotika tidak tepat, seharusnya menggunakan pendekatan medis dan penegakan hukum proporsional.
● Penempatan prajurit di instansi sipil dapat menimbulkan konflik kepentingan dan merusak struktur organisasi serta jalur karir Aparatur Sipil Negara (ASN).
● Penambahan tugas TNI dalam membantu Kepolisian dan penanganan siber menciptakan kekhawatiran terkait pergeseran fungsi fundamental TNI.
Kesimpulan

Dengan demikian dapat dinilai bahwa proses penyusunan serta pendistribusian RUU TNI yang telah disahkan menjadi UU TNI cacat secara formil. Perubahan yang diakomodir pada UU TNI yang baru berpotensi menimbulkan berbagai masalah hukum dan non-hukum.

Sumber : Zul FWJI Jakarta Barat

DH/ Erwin Melky /red


Pos terkait