detikhukum.id || Mataram – Di tengah lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB), organisasi advokasi Suara Perempuan Nusantara (SPN) menggelar Lokakarya Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Kota Mataram, Kamis (5/6/2025).
Kegiatan ini menghadirkan 25 peserta dari berbagai elemen masyarakat: mahasiswa, perempuan muda, aktivis komunitas, hingga tokoh masyarakat.
Lokakarya ini menjadi respons konkret atas situasi darurat kekerasan berbasis gender (KBG) yang kian mengkhawatirkan di NTB. Kekerasan tidak hanya terjadi di ruang tertutup, tetapi sudah menjalar ke ruang-ruang yang semestinya aman: ruang kelas, tempat ibadah, hingga forum publik.
“Kita menghadapi situasi genting. Kekerasan kini tidak mengenal ruang. Ia hadir di balik podium keagamaan, di balik tembok rumah, bahkan di dalam institusi pendidikan,” kata Nur Khotimah, Ketua SPN, saat membuka kegiatan.
Dalam lokakarya ini, peserta diajak memahami bahwa KBG tidak selalu berwujud kekerasan fisik. Ada kekerasan psikis, seksual, hingga ekonomi yang sering tak terlihat tapi meninggalkan luka panjang. Banyak korban bahkan tak sadar bahwa mereka sedang mengalami kekerasan.
“Masih banyak yang mengira kekerasan hanya ketika dipukul. Padahal, ucapan yang melemahkan, kontrol berlebih atas tubuh perempuan, hingga menyalahkan korban adalah bentuk kekerasan yang tak kalah merusak,” kata salah satu fasilitator dalam sesi diskusi.
Dengan pendekatan partisipatif, peserta memetakan pola-pola kekerasan yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga mendiskusikan akar ketimpangan struktural, termasuk budaya patriarki dan relasi kuasa yang melanggengkan kekerasan.
Berbeda dengan kegiatan formal yang kerap berhenti pada seminar, lokakarya ini menekankan aksi nyata. Peserta tidak hanya diajak berdiskusi, tapi juga menyusun rencana aksi komunitas.
Beberapa kelompok merancang inisiatif lokal seperti forum diskusi feminis di kampus, penyuluhan ke desa, pelatihan mendengar korban tanpa menghakimi, hingga membentuk jejaring respon cepat di komunitas untuk kasus-kasus kekerasan.
“Kami ingin memastikan bahwa pengetahuan yang lahir di forum ini tidak berhenti di ruangan ini,” ujar Nur Khotimah.
Ditambahkannya, perubahan sejati butuh gerakan kolektif dari bawah, yang dimulai dari keberanian mendengarkan dan mendampingi.
Di tengah minimnya pemahaman masyarakat tentang bentuk-bentuk KBG, pendidikan publik menjadi salah satu strategi utama. Lokakarya ini menjadi ruang alternatif bagi mereka yang ingin memahami isu gender secara mendalam, tanpa stigma atau penghakiman.
“Kita sering terjebak pada narasi bahwa perempuan harus diam, tunduk, dan kuat menahan. Padahal, membicarakan kekerasan adalah langkah awal penyembuhan,” ujar peserta dari kalangan mahasiswa Universitas Mataram.
SPN menekankan pentingnya membangun ruang aman, secara fisik, psikologis dan sosial, bagi perempuan dan kelompok rentan. Ruang aman ini tidak hanya dibangun oleh lembaga, tetapi oleh setiap individu yang berani bersikap adil dan berpihak pada korban.
Lokakarya ini juga menjadi ajang konsolidasi lintas komunitas. Banyak peserta mengaku baru kali ini mengikuti kegiatan yang menyentuh persoalan kekerasan secara menyeluruh dan sistemik.
“Biasanya kegiatan soal perempuan hanya berhenti di seruan moral. Di sini kami belajar bahwa kekerasan bukan soal moral individu, tapi soal ketimpangan sistemik yang harus dilawan bersama,” ujar salah satu peserta dari komunitas perempuan.
Hasil lokakarya akan dirumuskan dalam laporan bersama dan digunakan sebagai bahan advokasi SPN ke depan. Termasuk untuk penguatan program-program perlindungan korban, pendidikan publik, hingga mendorong kebijakan ramah gender di institusi pendidikan dan pemerintahan lokal.
Bagi SPN, lokakarya ini adalah awal dari gerakan yang lebih besar. Bukan hanya untuk membekali peserta dengan pemahaman, tetapi untuk mendorong keterlibatan masyarakat luas.
“Kekerasan tidak bisa lagi dianggap urusan pribadi. Ia adalah kegagalan kolektif jika kita memilih diam,” tegas Nur Khotimah.
Diharapkan Nur, Mataram dan NTB tidak lagi hanya menjadi saksi maraknya kekerasan, tapi menjadi tempat tumbuhnya solidaritas dan perubahan. Karena mencegah kekerasan bukan hanya soal kepedulian, tapi soal keberpihakan,” pungkasnya.
DH/Laela/Red