Pancasila: Kesaktian, Tantangan, dan Peluang sebagai Dasar Negara (Tinjauan Historis, Sosiologis, dan Spiritualitas)

detikhukum.id,- Jakarta Barat, DKI Jakarta – Rabu (1/10/2025) -;Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia, telah teruji oleh zaman. Lebih dari sekadar kumpulan lima sila, Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat Indonesia, menjadi perekat persatuan di tengah keberagaman. Opini kajian ilmiah ini akan menelaah “kesaktian” Pancasila, tantangan yang dihadapinya, serta peluang yang dimilikinya dalam menjaga keutuhan dan memajukan bangsa, ditinjau dari perspektif historis, sosiologis, dan spiritualitas.

Tinjauan Historis: Fondasi yang Kokoh dan Adaptif

Secara historis, “kesaktian” Pancasila terletak pada kemampuannya untuk lahir dari rahim perjuangan bangsa dan bertahan menghadapi berbagai gejolak. Pancasila bukanlah ideologi impor, melainkan digali dari bumi Indonesia oleh para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Yamin, yang memahami betul karakter dan cita-cita rakyat. Proses perumusan yang melibatkan musyawarah mufakat dalam BPUPKI dan PPKI menunjukkan Pancasila sebagai konsensus nasional yang mengakomodasi berbagai pandangan, termasuk golongan agama dan nasionalis.

Sepanjang sejarah Indonesia, Pancasila telah menghadapi berbagai upaya penggantian ideologi, mulai dari pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, hingga yang paling masif, G30S/PKI. Namun, setiap kali Pancasila diuji, ia selalu muncul sebagai pemenang, membuktikan daya tahannya yang luar biasa. Peristiwa-peristiwa ini justru memperkuat legitimasi Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara yang mampu menyatukan bangsa yang plural. Kemampuan adaptasinya juga terlihat dari bagaimana Pancasila tetap relevan melintasi berbagai rezim pemerintahan, dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, meskipun interpretasi dan implementasinya dapat berbeda. Ini menunjukkan bahwa Pancasila memiliki fondasi nilai yang universal namun tetap kontekstual dengan keindonesiaan.

Tinjauan Sosiologis: Perekat Keberagaman dan Keadilan Sosial

Dari perspektif sosiologis, Pancasila berfungsi sebagai social glue yang mengikat masyarakat Indonesia yang majemuk. Sila-sila Pancasila, seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, secara inheren mencerminkan nilai-nilai gotong royong, toleransi, musyawarah, dan keadilan yang telah lama hidup dalam masyarakat adat dan budaya Indonesia.

Tantangan sosiologis kontemporer terhadap Pancasila sangat kompleks. Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi membawa arus ideologi transnasional yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, memicu radikalisme, intoleransi, dan polarisasi sosial. Kesenjangan ekonomi dan sosial yang masih terjadi juga dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap implementasi sila Keadilan Sosial. Namun, di sinilah peluang Pancasila bersinar. Dengan menginternalisasi dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara konsisten, masyarakat dapat membangun ketahanan sosial terhadap ideologi-ideologi destruktif. Pancasila menawarkan kerangka kerja untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan beradab, di mana setiap warga negara merasa memiliki dan dihargai. Penguatan pendidikan Pancasila dan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang sejalan dengan Pancasila menjadi kunci untuk memperkuat kohesi sosial.

Tinjauan Spiritualitas: Sumber Makna dan Harmoni

Aspek spiritualitas Pancasila seringkali terabaikan dalam diskursus modern, padahal ia merupakan salah satu pilar “kesaktian”nya. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” bukanlah sekadar pengakuan akan adanya Tuhan, melainkan fondasi moral dan etika bagi sila-sila lainnya. Ia mengakomodasi keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia, mendorong toleransi dan kerukunan antarumat beragama, serta menolak ateisme dan sekularisme ekstrem. Bagi banyak individu, Pancasila memberikan makna spiritual yang mendalam, menjadi pedoman hidup yang selaras dengan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Tantangan spiritualitas Pancasila muncul ketika terjadi penafsiran agama yang eksklusif dan radikal, yang cenderung memecah belah dan menolak keberagaman. Upaya untuk mengganti Pancasila dengan ideologi berbasis agama tertentu atau, sebaliknya, dengan ideologi yang sepenuhnya sekuler, merupakan ancaman terhadap harmoni spiritual yang telah dibangun Pancasila. Peluangnya terletak pada revitalisasi pemahaman bahwa spiritualitas Pancasila adalah spiritualitas yang inklusif, yang menghargai setiap keyakinan dan mendorong praktik keagamaan yang moderat dan toleran. Pancasila dapat menjadi jembatan bagi dialog antaragama, memperkuat nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan perdamaian yang universal, sekaligus mengukuhkan identitas keindonesiaan yang religius namun pluralis.

Kesimpulan

“Kesaktian” Pancasila sebagai dasar negara adalah hasil dari sintesis historis yang kokoh, relevansi sosiologis yang adaptif, dan kedalaman spiritual yang inklusif. Ia telah membuktikan diri sebagai ideologi yang mampu menyatukan bangsa yang sangat beragam dan bertahan dari berbagai guncangan. Namun, Pancasila tidak kebal terhadap tantangan. Arus globalisasi, radikalisme, intoleransi, dan kesenjangan sosial terus menguji daya tahannya.

Oleh karena itu, upaya untuk terus menginternalisasi, mengamalkan, dan membela Pancasila adalah tugas kolektif seluruh elemen bangsa. Peluang untuk memperkuat Pancasila terletak pada pendidikan yang berkelanjutan, penguatan institusi yang menjaga nilai-nilai Pancasila, serta partisipasi aktif masyarakat dalam mewujudkan keadilan sosial dan kerukunan. Hanya dengan demikian, Pancasila akan terus menjadi bintang penuntun yang sakti, membawa Indonesia menuju masa depan yang adil, makmur, dan beradab.

Penulis adalah Litbang Media Detikhukum.com

Mahasiswa Ilmu Hukum pada Fakuktas Hukum Ilmu Sosial Ilmu Politik UPBJJ UT Jakarta

Pendiri The Journalist Society Indonesia – JS Media Group

Oleh: Johan Sopaheluwakan, S.Pd., C.EJ., C.BJ.

DH/ Johan S /red

Pos terkait