Sumpah Pemuda ke-97, Momentum Pahit Bangsa: ‘Fatamorgana Nasionalisme di Tengah Krisis Kepemimpinan’

detikhukum.id,- Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke- 97 menjadi momentum refleksi bagi seluruh anak Bangsa, khususnya generasi muda yang kini menghadapi tantangan zaman jauh lebih kompleks dibanding masa sebelumnya. Selasa.28/10/2025


Hal itu disampaikan oleh pemerhati kebangsaan, Samuel F Silaen, saat menyoroti kondisi kepemudaan dan arah pembangunan Nasional saat ini.
Menurutnya, semangat Sumpah Pemuda yang digaungkan sejak 1928 seolah kini hanya menjadi slogan tanpa pijakan nyata.

“Sumpah Pemuda hari ini seperti fatamorgana. Terlihat megah, tapi rapuh dan sulit dijangkau karena tidak membumi,” ujar Silaen, kepada awak media,
di Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Ia menilai, persoalan Bangsa saat ini justru bersumber dari ketidakkonsistenan dalam kepemimpinan Nasional. Setiap pergantian pemerintahan, kata dia, kerap dimulai dengan narasi ‘membangun dari nol’ seolah-olah melupakan fakta bahwa Indonesia sudah merdeka selama delapan dekade.


“Jika setiap kali ganti pemimpin semua harus dimulai lagi dari awal, maka itu pertanda negara sedang gamang. Tidak ada kesinambungan visi dan arah kebijakan yang kokoh,” tegasnya.

Lebih jauh, Silaen menyoroti bahwa kebijakan pemerintah kerap terjebak dalam orientasi ekonomi semata (money oriented), tanpa mempertimbangkan kepentingan jangka panjang. Akibatnya, kesenjangan sosial dan penderitaan rakyat terus berulang tanpa penanganan yang terstruktur.

“Masalah besar Bangsa ini bukan hanya soal ekonomi, tapi tentang manajemen kepemimpinan. Ketika kepala rusak, maka seluruh tubuh ikut rusak. Begitu juga Bangsa, jika pemimpinnya tidak beres maka kerusakannya menjalar hingga ke akar,” tandasnya.

Silaen juga mengingatkan agar para pemimpin berhati-hati dalam mengambil keputusan strategis yang berkaitan dengan kebijakan Publik. Menurutnya, menjaga kondusivitas dan kebersamaan antar elemen bangsa harus menjadi prioritas utama.


“Nenek moyang kita dari berbagai suku Bangsa berjuang bersama memerdekakan Indonesia. Karena itu, pemerintah harus berdiri di atas semua golongan, tidak boleh ada diskriminasi yang justru menimbulkan ketersinggungan dan melemahkan kohesi sosial,” tutup Silaen.
Penutup.

DH/ Sulaeman /red

Pos terkait