Banjir di Bandung: Gagalnya Perencanaan Kota yang Ramah Lingkungan

detikhukum.id, || Bandung, — Banjir di Bandung bukan lagi kejadian alam yang tak terduga, tetapi menjadi rutinitas tahunan yang menyisakan kerugian dan rasa perih bagi warga. Sama seperti banjir di Sumatera, kita sering kali menyalahkan alam setiap kali hujan turun deras.

Di Kota Bandung, banjir kerap melanda Kecamatan Andir, Astanaanyar, Babakan Ciparay, Bandung Kulon, Bandung Kidul, Panyileukan, Batununggal, Bojongloa Kidul, Bojongloa Kaler, Rancasari, Kiaracondong, Cibiru, hingga Buahbatu. Padahal, persoalan ini sejak lama dapat diperhitungkan.

Mengapa? Karena drainase, saluran air, dan area resapan sudah semakin hilang dari kota ini. Apakah banjir hanyalah “hadiah” dari alam? Takdir dari Tuhan? Atau justru tanda gagalnya perencanaan dan pengelolaan kota yang berkelanjutan?

Ali Wardhana Isha, pengamat kebijakan publik dari The Ihakkie Filantrophy School (TIFS) menyatakan bahwa yang terjadi hari ini adalah bukti kepemimpinan daerah gagal membangun tata kota yang ramah lingkungan.

“Kota seharusnya menjadi wadah besar yang mampu menampung air dari wilayah Bandung Utara dan Timur. Kenyataannya, Bandung hari ini hanya menjadi penampung tanpa ada arah ke mana air itu seharusnya diarahkan,” ujar Ali.

Agus Sumarna, tokoh masyarakat Bojongloa Kaler, menyoroti gagalnya sistem drainase di pusat kota. “Sistem pembuangan air di Bandung banyak yang masih peninggalan kolonial. Kapasitasnya tidak mampu menampung volume air yang jauh melebihi kemampuan desain awalnya. Ironisnya, sebagian drainase kini justru ditutup untuk komersial dan trotoar, membuat kita tak lagi bisa melihat kondisi aliran air di bawahnya,” kata Agus.

Menurutnya, drainase idealnya tetap terbuka pada bagian yang memungkinkan, agar aliran air dapat dipantau dan dikelola dengan baik.

Ali melanjutkan, “Selama lebih dari dua puluh tahun terakhir, kota ini tidak memiliki perencanaan tata kota yang matang. Yang ada hanya perencanaan politik. Pemerintah tidak mampu mengantisipasi percepatan pembangunan infrastruktur dan properti di Bandung Raya yang berkembang cepat tanpa memperhatikan kemampuan lingkungan.”

Hutan kota dan area resapan alami di wilayah utara—yang dulu berfungsi sebagai penyimpan air—kini berubah menjadi kompleks perumahan, villa, hotel, dan fasilitas komersial. Perubahan fungsi lahan secara masif membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Akibatnya, air hujan mengalir langsung ke sungai dan drainase kota yang kapasitasnya sudah terlampaui.

“Kesalahan ini bukan sekadar teknis,” lanjut Ali, “tetapi mencerminkan prioritas kebijakan kota. RTRW lebih fokus pada kepentingan ekonomi jangka pendek ketimbang keberlanjutan lingkungan dan kenyamanan warga.”

DH/Rusden Maringan/red

Pos terkait